Krisis Iklim, Krisis Tata Kelola
Oleh:
Lilis Sulastri
(Guru Besar Ilmu Manajemen FEBI UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
Terasjabar.co – Di banyak wilayah Indonesia, cuaca ekstrem kini bukan anomali, melainkan pola baru. Hujan tiba dalam intensitas yang sulit diprediksi, sementara musim kemarau lebih panjang dan lebih panas dari sebelumnya.
Di sejumlah daerah, banjir yang dahulu datang sekali dua tahun kini hadir setiap musim hujan. Di titik lain, kebakaran hutan dan lahan muncul bahkan tanpa pemicu besar.
Fenomena ini tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari krisis iklim global yang tengah menguji ketangguhan negara bukan hanya secara alamiah, tetapi juga secara kelembagaan.
Dalam situasi penuh ketidakpastian, maka muncul satu pertanyaan mendasar: apakah tata kelola kita siap menghadapi realitas baru krisis iklim? Jawabannya, jika mengikuti data, pengalaman lapangan, dan refleksi kebijakan, tampak masih belum utuh. Di sinilah krisis iklim bersinggungan langsung dengan krisis tata kelola.
Iklim yang Berubah, Risiko yang Meningkat
Krisis iklim memengaruhi semua aspek kehidupan ekologi, ekonomi, kesehatan publik, hingga kesejahteraan sosial, tidak hanya meningkatkan frekuensi bencana, tetapi karakter bencana itu sendiri menjadi lebih ekstrem, lebih luas, dan lebih tak terduga. Kondisi ini menciptakan “new hazard landscape” lanskap risiko baru yang belum sepenuhnya dipahami oleh banyak negara, termasuk Indonesia.
Teori Climate Resilient Development (CRD) menekankan bahwa negara perlu merancang pembangunan yang adaptif terhadap perubahan iklim. Artinya, keputusan tata ruang, pembangunan infrastruktur, dan investasi harus memasukkan variabel perubahan iklim, bukan sekadar statistik masa lalu.
Namun pada praktiknya, banyak kebijakan pembangunan di Indonesia masih berorientasi pada pendekatan reaktif atau jangka pendek, bahkan kekuasaan. Ketika banjir besar terjadi akhir akhir ini, sebagian besar respons adalah evakuasi dan penanganan tanggap darurat.
Namun pertanyaannya, mengapa pola banjir terus berulang?, dan mengapa infrastruktur serta pengelolaan tidak berkembang secepat perubahan iklim?
Krisis iklim memperlihatkan kelemahan struktural dalam tata kelola integrasi data, koordinasi antarlembaga, dan kemampuan adaptasi kebijakan serta tak kalah menariknya peran kekuasaan yang melampaui batas kewajaran alam.
Mengapa Krisis Tata Kelola Terjadi?
Ada beberapa akar persoalan penting yang harus di urai:
- Orientasi Kebijakan Jangka Pendek. Kebijakan mitigasi jarang menjadi prioritas karena hasilnya tidak langsung terlihat. Politik yang berorientasi pada proyek-proyek fisik lebih sering dipilih dari pada membangun kapasitas mitigasi yang sifatnya tidak kasat mata.
- Tata Ruang yang Lemah. Penegakan regulasi tata ruang masih menjadi tantangan besar. Pelanggaran pemanfaatan lahan sering kali dibiarkan atau diberi toleransi.
- Fragmentasi Kelembagaan. Banyak lembaga bekerja sendiri-sendiri, padahal risiko bencana bersifat lintas sektor dan lintas wilayah.
- Minimnya Investasi Mitigasi. Anggaran mitigasi sering dianggap beban, bukan investasi. Padahal setiap Rp1 yang diinvestasikan untuk mitigasi dapat menghemat Rp7 dalam penanganan bencana.
- Rendahnya Literasi Risiko Publik. Masyarakat sering tidak memahami cara membaca tanda-tanda alam, atau tidak mendapatkan akses informasi yang cukup.
Mengurai Krisis Tata Kelola
Krisis tata kelola tidak muncul tiba-tiba, tapi terbentuk melalui serangkaian dinamika kelembagaan, tumpang tindih kebijakan, dan cara pandang yang memisahkan bencana dari pembangunan. Beberapa teori tata kelola modern sangat relevan untuk membaca situasi sat ini yaitu:
- Risk Governance Framework (IRGC).
Teori tata kelola risiko dari International Risk Governance Council yang menekankan empat hal yaitu: identifikasi risiko, analisis risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko. Namun masalahnya, di Indonesia, risiko sering kali hanya dipetakan pada tahap identifikasi, namun tidak mengalir penuh ke tahap manajemen dan komunikasi. Banyak daerah memiliki peta rawan bencana, namun pembangunan perumahan atau infrastruktur tetap berlangsung di kawasan yang secara ilmiah tidak aman. Lebih jauh lagi, komunikasi risiko sering kali berhenti di ruang rapat, bukan menjadi edukasi publik yang sistematis. - Adaptive Governance.
Konsep ini menekankan pentingnya fleksibilitas kebijakan, kemampuan belajar dari peristiwa, serta kemitraan yang melibatkan pemerintah, akademisi, dunia usaha, dan masyarakat. Masalah utama dalam konteks Indonesia adalah kelembagaan yang kaku. Prosedur yang rumit, koordinasi lintas sektor yang terbatas, serta siklus anggaran tahunan membuat upaya mitigasi menjadi kurang dinamis. Krisis iklim membutuhkan tata kelola yang mampu menyesuaikan diri dengan cepat, bukan sekadar mengikuti aturan yang sifatnya administratif. - Collaborative Governance.
Teori ini menekankan bahwa pengelolaan risiko tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga saja. Negara, masyarakat, sektor privat, dan komunitas lokal harus bekerja sebagai satu ekosistem. Namun kenyataan menunjukkan bahwa banyak keputusan kebencanaan masih didominasi pendekatan top-down. Padahal masyarakat lokal punya pengetahuan adaptif yang tidak dimiliki oleh teknokrat. Di banyak desa rawan banjir bandang, misalnya, pola aliran air dapat terbaca dari pengalaman generasi sebelumnya, dan informasi berharga yang jarang diintegrasikan ke dalam kebijakan formal. - Theory of Complex Systems.
Bahwa krisis iklim bersifat sistemik, bukan linier. Artinya, dampaknya meluas ke berbagai sektor dan saling memengaruhi. Kompleksitas ini menuntut sistem tata kelola yang holistik. Namun struktur pemerintahan kita sering bergerak sektoral dimana kementerian fokus pada domain masing-masing, pemerintah daerah bekerja berdasarkan kewenangan administratif, dan koordinasi antar wilayah sering tidak sinkron. Padahal bencana tidak mengenal batas wilayah dan administratif seperti yang terjadi saat ini.
Publik sebagai Garda Depan Ketangguhan
Krisis iklim bukan hanya tugas pemerintah, namun melibatkan seluruh elemen masyarakat. Teori Community-Based Disaster Risk Management (CBDRM) menyatakan bahwa masyarakat adalah aktor utama dalam mengurangi risiko, bukan sekadar penerima informasi.
Di Jepang, sekolah melakukan simulasi gempa secara berkala. Di Bangladesh, masyarakat pesisir terlibat dalam pemantauan cuaca berbasis komunitas. Di Selandia Baru, budaya kesiapsiagaan menjadi bagian dari pendidikan dasar.
Indonesia memiliki modal sosial yang kuat mulai dari gotong royong hingga solidaritas komunitas. Namun modal ini belum sepenuhnya diintegrasikan dalam kebijakan mitigasi formal. Dengan pelibatan masyarakat sejak tahap perencanaan, kualitas mitigasi meningkat secara eksponensial.
Indonesia saat ini telah mengembangkan berbagai instrumen teknologi, misalnya dengan sistem peringatan dini, radar cuaca, sensor gempa, citra satelit, hingga dashboard kebencanaan berbasis data real-time.
Namun menurut teori Techno-Governance, teknologi hanya efektif apabila tata kelola data dengan baik, institusi mampu menganalisis data secara cepat, dan keputusan berbasis data dijalankan tanpa intervensi non-teknis.
Agenda Strategis Masa Depan
Untuk menjembatani dua krisis iklim dan tata kelola dibutuhkan langkah strategi jangka panjang. Dan agenda yang relevan untuk kondisi Indonesia hari ini, diantaranya:
- Reformasi Tata Ruang Berbasis Risiko Zonasi harus dikaitkan langsung dengan proyeksi perubahan iklim, bukan data historis semata. Pelanggaran tata ruang harus direspons dengan penegakan hukum yang konsisten.
- Integrasi Data Nasional Kebencanaan. Indonesia memerlukan satu sistem data yang mengintegrasikan BMKG, BNPB, Kementerian PUPR, KLHK, dan seluruh pemda. Keputusan harus berbasis data bersama, bukan data sektoral.
- Penguatan Anggaran Mitigasi. Anggaran mitigasi perlu diposisikan sebagai investasi pembangunan, bukan biaya tambahan.
- Pendidikan Iklim dan Risiko Sejak Dini. Generasi mendatang harus dibekali literasi risiko, seperti yang dilakukan di negara-negara maju.
- Kemitraan Pemerintah, komunitas dan sektor swasta. Krisis iklim tidak bisa ditangani tanpa kolaborasi multipihak. Sektor swasta perlu terlibat dalam adaptasi dan mitigasi, seperti pengembangan infrastruktur hijau, analisis risiko bisnis, hingga investasi energi bersih.
- Adaptasi Kebijakan yang Lebih Fleksibel. Regulasi harus memungkinkan respons cepat terhadap perubahan iklim. Kapasitas pemerintah daerah perlu ditingkatkan untuk membaca risiko dan bertindak mandiri, bukan hanya menunggu instruksi.
- Pembangunan Berbasis Ekosistem Pendekatan Nature-Based Solutions (NbS) seperti rehabilitasi mangrove, hutan kota, dan restorasi DAS telah terbukti efektif mengurangi dampak krisis iklim.
Hidup di Negeri Risiko
Indonesia tidak memiliki kemewahan untuk bersikap reaktif. Krisis iklim telah mengubah peta risiko dengan sangat cepat, sementara tata kelola kita masih berjalan dengan ritme lama.
Jika dua krisis ini dibiarkan berjalan bersamaan, maka iklim dan tata kelola akan mengalami kerugian yang jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan.
Namun kita masih memiliki peluang dimana pengetahuan ilmiah semakin berkembang, teknologi semakin terjangkau, kesadaran publik mulai meningkat, dan pengalaman kebencanaan telah memberi pelajaran berharga.
Pertanyaannya bukan lagi apakah kita mampu menghadapi krisis iklim, tetapi apakah kita bersedia memperbaiki tata kelola agar bangsa ini lebih siap, lebih tangguh, dan lebih adaptif. Karena bencana mungkin tak dapat dihentikan, tetapi kerusakan selalu dapat diminimalkan, dengan tata kelola yang berpihak pada sains, masyarakat, dan masa depan.
Wallahu’a’lam bisshowaab






Leave a Reply