Haji, Simbol Persatuan Umat Islam Global?

Oleh:
Indah Rahma
(Praktisi Kesehatan)

Terasjabar.co – Setiap tahun, jutaan muslim dari berbagai penjuru dunia berkumpul di Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Pemandangan menakjubkan ini menunjukkan bagaimana Islam mampu menyatukan manusia dari berbagai bangsa, warna kulit, dan bahasa, dalam satu ikatan akidah dan tujuan ibadah yang sama. Tahun ini, Pemerintah Arab Saudi menetapkan wukuf di Arafah pada 5 Juni 2025 dan Idul Adha pada 6 Juni. Sebuah keputusan yang diikuti oleh sebagian umat Islam, termasuk Muhammadiyah di Indonesia.

Namun, di tengah simbol kuat persatuan ini, justru tampak jelas paradoks yang menyedihkan umat Islam masih terpecah dalam penetapan hari raya. Pemerintah Indonesia dan ormas Islam lain seperti NU belum tentu menetapkan tanggal yang sama dengan Arab Saudi. Bahkan dalam kerangka MABIMS (Majelis Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura) pun kini terjadi perbedaan sikap, sebagaimana diungkapkan dalam laporan Suara Muhammadiyah dan pemberitaan berbagai media nasional (suaramuhammadiyah.id, 01/06/2025). Meskipun pada akhirnya ditetapkan pada hari yang sama.

Perbedaan yang Berulang

Masalah penetapan Idul Adha yang berbeda bukan hal baru. Perbedaan ini bukan semata masalah hisab atau rukyat, tetapi mencerminkan absennya sistem yang menyatukan pandangan dan keputusan umat Islam secara global. Ini bukan sekadar perbedaan metode, tetapi menunjukkan lemahnya koordinasi antara umat Islam yang tersebar di lebih dari 50 negara dengan sistem politik dan hukum yang terfragmentasi oleh batas-batas negara bangsa (nation-state).

Realitas ini menunjukkan bahwa persatuan umat Islam saat haji atau Idul Adha hanya bersifat simbolik dan temporer. Selepasnya, umat kembali tercerai berai dalam kepentingan politik, mazhab, bahkan saling curiga dan bermusuhan. Padahal, nilai utama dari Idul Adha adalah ketaatan total kepada Allah, bukan hanya dalam bentuk ibadah ritual, tapi dalam seluruh aspek kehidupan.

Nasionalisme: Sekat yang Memecah Umat

Persatuan umat Islam hari ini seringkali terkikis oleh paham nasionalisme yang menempatkan identitas kebangsaan di atas ikatan akidah. Umat Islam Palestina menderita, tetapi banyak negara Muslim bungkam. Umat Rohingya terusir, tetapi tidak ada satu negara Muslim yang sungguh-sungguh membela. Inilah buah dari sistem politik sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan dan menceraiberaikan umat ke dalam puluhan entitas politik lemah.

Padahal jika umat Islam bersatu dalam satu institusi global, maka mereka akan menjadi kekuatan dunia yang disegani. Dengan jumlah hampir dua miliar jiwa, umat ini memiliki sumber daya manusia, kekayaan alam, dan pengaruh budaya yang luar biasa. Sayangnya, semua itu tidak terkelola secara terpadu.

Saatnya Kembali kepada Islam Kaffah

Islam bukan hanya agama ibadah ritual. Islam adalah sistem hidup yang mencakup semua aspek, termasuk politik, hukum, dan pemerintahan. Persatuan yang sejati hanya bisa terwujud jika umat memiliki institusi kepemimpinan global yang dalam Islam dikenal sebagai Khilafah.

Dalam sejarahnya, Khilafah adalah institusi yang berhasil menyatukan umat Islam di bawah satu pemimpin, satu hukum, dan satu arah kebijakan. Khalifah menjadi penentu awal bulan hijriyah, termasuk Idul Adha, yang berlaku secara global dan menghilangkan kebingungan seperti yang kita alami hari ini. Lebih dari itu, Khilafah menjadi pelindung dan penjaga umat Islam dari segala bentuk penjajahan dan penindasan.

Idul Adha seharusnya menjadi momentum refleksi umat bahwa ketaatan tidak cukup hanya pada ranah personal. Umat perlu menunjukkan ketundukan kepada syariat secara menyeluruh (kaffah), baik dalam ibadah, muamalah, maupun sistem bernegara. Inilah bentuk implementasi dari pesan pengorbanan Nabi Ibrahim yang sesungguhnya: tunduk total pada perintah Allah, bahkan ketika bertentangan dengan logika dan perasaan.

Haji dan Idul Adha bukan sekadar ritual tahunan, melainkan pengingat akan potensi besar umat Islam untuk bersatu dan bangkit. Namun selama umat masih terkungkung dalam kerangka negara-bangsa yang sekuler, maka persatuan itu akan tetap sebatas mimpi. Saatnya umat Islam kembali serius mengkaji dan memperjuangkan Islam secara kaffah, termasuk menegakkan institusi pemersatu sejati Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Karena hanya dengan itulah, persatuan umat tak lagi menjadi ilusi indah di tengah kenyataan yang getir.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

13 − eleven =