Kisruh Informasi di Puncak Pandemi
Oleh:
IJANG FAISAL, Ketua Komisi Informasi Jawa Barat
Terasjabar.co – Saatpuncak pandemi kali ini, betapa kita malah sering mengurut dada jika melihat percakapan masyarakat di grup pesan instans dan media sosial. Hoaks terkait pandemi malah tak kunjung surut di saat seharusnya kita sebagai anak bangsa bergandengan tangan menuntaskan pandemi Covid-19 yang sedang menerjang seluruh penjuru negeri.
Hal ini seolah melanjutkan apa yang terjadi sebelumnya. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika per 23 Januari 2020-13 April 2021 menujukkan ada 2.632 konten hoaks terkait virus korona yang mengemuka di media sosial. Rinciannya di Facebook (2.129 konten), Twitter (438 konten), Youtube (45 konten), dan Instagram (20 konten). Penulis menduga, jika direkapitulasikan data grup pesan instan, khususnya di WhatsApp Group (WAG), angka tersebut bisa jadi akan berlipat-lipat kuantitasnya.
Dalam perspektif keterbukaan informasi publik (KIP), setidaknya ada tiga analisa mengapa kabar palsu tetap menyeruak dari satu ruang ke ruang publik lain sehingga malah membuat wabah ini tidak jua segera sirna.
Pertama, masih belum optimalnya badan publik di Indonesia umumnya dan khususnya di Jawa Barat secara keseluruhan mencakup badan publik pemerintah kabupaten dan kota di Jawa Barat dalam menyediakan dan menyampaikan informasi kepada publik. Ada kecenderungan informasi disajikan sebatas formalitas saja guna mematuhi UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) No.14/2008 dan atau memenuhi tuntutan sejumlah elemen masyarakat, baik aktivis secara individu/kolektif, atas implementasi regulasi tersebut.
Keterbatasan motivasi inilah yang membuat informasi cenderung tak utuh, komprehensif, dan yang benar-benar paling dibutuhkan masyarakat. Sajiannya sebatas memenuhi arus aspirasi publik, sehingga tak jarang jadi sekadar ada agar tak dikritisi KI atau bahkan kepala daerah itu sendiri.
Informasi memang sudah dikemas sophisticated, sedemikian rupa canggihnya. Sebab selain berbentuk teks, juga disajikan dalam bentuk excel, grafis, infografis, motions, animasi, bahkan audio-video yang memanjakan mata khalayak. Akan tetapi, di mata penulis, ini semua masih sebatas tampilan luar karena informasi substansial pelaksanaaan pemerintahan (khususnya dari aspek anggaran dan pertanggungjawabannya) belum benar-benar sepenuhnya diberikan/disajikan ke masyarakat secara utuh.
Padahal, merujuk UU KIP dan turunannya serta UU terkait lain, anggaran ini termasuk jenis Informasi Terbuka. Yakni meliputi rencana dan laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai standar akuntansi yang berlaku, serta daftar aset dan investasi.
Faktanya, masih ada badan publik yang kami pantau kemudian berdalih anggaran sebagai informasi dikecualikan padahal jelas bukan secara aturan. Situasi ini yang antara lain memicu ketidakpuasan hingga praduga tak karuan dari masyarakat, yang dalam beberapa kasus mendorong muncul-berkembangnya hoaks yang viral di ruang digital tak terbatas tadi.
Komisi Informasi Jawa Barat mendorong badan publik di lingkungan Pemprov Jawa Barat serta badan publik di 27 pemerintah kabupaten dan kota agar kian mengeskalasikan penghayatan esensi UU KIP No.14/2008. Terutama di level pimpinan badan publik yang gilirannya akan mengoptimalkan fungsi dan peran PPID (Pejabat Pengelola Informasi Daerah) dalam membumikan undang-undang tersebut.
Level pimpinan harus jadi yang pertama dan utama menjadi contoh tranparansi dan akuntabilitas informasi. Terlebih elemen supervisi operasional badan publik saat ini kian banyak saja, mulai Inspektorat, BPKP, bahkan KPK. Kita bersama wujudkan salah satu semboyan KI Jabar: kalau bersih, mengapa harus risih?
Kedua, badan publik terkadang malah menyampaikan informasi yang justru tidak akurat, tidak benar, bahkan menyesatkan, sehingga obligasi keterbukaan informasi badan publik tercederai sekaligus menjadi contoh buruk ke masyarakat. Lebih mirisnya, data yang tak akurat tadi, malah dijadikan bahan dasar keputusan sehingga selain memperluas hoaks, juga dengan sendirinya masalah di masyarakat tidak tuntas. Hal ini juga kadang diperburuk dengan miskordinasi sesama juru bicara badan publik itu sendiri.
Karena itulah, Komisi Informasi mendorong sinergisitas data, informasi, dan suara seluruh badan publik di Tanah Air. Harap semua lembaga menggunakan data yang akurat, benar, aktual, dan juga satu suara dalam menyampaikan informasi atau menanggapi setiap fenomena.
Maka, kikislah ego sectoral, khususnya di era puncak pandemi sekarang karena sikap jemawa hanyalah kian memperburuk masalah kesehatan kita bersama sekarang. Terlebih secara institusional, sejak 6 Desember 1967, berdiri Badan Koordinasi Hubungan Masyarakat (Bako Humas) untuk seluruh badan publik di Indonesia.
Khusus di level kepala daerah, ada Apkasi (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia), Apeksi (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia), hingga APPSI (Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia). Wadahnya komplit sudah, tinggal komunikasi dan sinerginya yang dipertajam.
Ketiga, sikap fanatis segelintir masyarakat atas pilihan politik praktis yang kemudian ironisnya mengabaikan norma hingga aturan agama terkait dosa jariah. Kita masih dengan mudah menemukan polarisasi warga imbas Pilpres 2014 dan 2019 kemarin, padahal mereka tadinya bersaing saat ini telah melebur sudah.
Kutub pendapat dan sikap ini membuat kebenaran menjadi kabur sekira yang menyampaikan orang yang terafiliasi ke lawan pilihan politiknya. Era post truth kian nyata terjadi manakala yang salah jadi benar manakala yang bicara teman satu kubu.
Daripada berkubang polarisasi yang mengabaikan dosa kolektif ini, penulis mendorong masyarakat adukan keluhan-keluhan informasi tadi ke KI Jabar sehingga kelak Sidang PSI (Penyelesaian Sengketa Informasi) yang mampu menerangkan segalanya. Wallahualam.
Leave a Reply