AKSI RADIKALISME ATASNAMA NEGARA: Tinjauan Politik Historiografi
Oleh:
Nunu A. Hamijaya
(Sejarawan Publik-Penulis Buku 1 Negeri 3 Proklamasi & Negara Ummat)
Terasjabar.co – Belum lama ini, kita menerima berita duka dengan wafatnya, SOLAHUDIN, wartawan dan peneliti di The Indonesian Strategic Policy Institute/CTSC-UI, yang terkenal dengan bukunya “NII Sampai JI, Salafy Jihadisme” (2011). Terbitnya buku tersebut bersamaan dengan momentum peristiwa Teror Bom Buku 2011 yang ditujukan kepada tokoh-tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL).
Bersamaan pula dengan kasus ledakan bom 15 April 2011 di masjid Al Dzikro Polres Cirebon. Aksi ledakan yang terjadi sebelumnya biasanya terjadi diinstitusi/simbol-simbol negara asing seperti hotel milik negara asing (Marriott & Ritzh-Carlton), nightclub, pub, kedutaan negara asing. Perhatian Tempo yang sangat besar ini terlihat pada penempatanmasalah ini pada halaman headline-nya. Pemberitaan ini berlangsung selama seminggu (17 April-25 April 2011).
Jadi, topik tentang aksi peledakan bom bunuh diri di Cirebon yang disajikan dalam lima headline merupakan topik yang paling dominan. Ini menunjukkan perhatiannya yang besar dalam masalah ini sehingga kasus ini ditonjolkan (emphasize). Framing media tersebut ditujukan kepada ‘jaringan aceh’ dan Abu Bakar Ba’asyir. Padahal, pada saat yang bersamaan, beberapa peristiwa berskala nasional bahkan internasional yang terkait dengan kepentingan bangsa dan negara ini luput dari perhatian (de-emphasize). Peristiwa yang dimaksud adalah 1) Pembajakan Kapal MV Sinar Kudus oleh Perompak Somalia; 2) Kasus dugaan korupsi Sesmenpora; 3) Keruwetan Pergantian Ketua Umum PSSI; 4) Rencana pembatasan biaya studi banding DPR RI ke luar negeri.
Melalui buku SOLAHUDIN, istilah-istilah seperti terorisme, DI/TII, NII, Jihadisme , pemberontakan menjadi viral. Itu adalah istilah-istilah yang sudah ter-framing selama 60 tahun, sehingga publik Indonesia bersikap ‘antipati’ dan resistensi terhadapnya. Apalagi Solahudin kemudian menjadi bagian dari para akademisi/penelitia terorisme ‘ yang dipakai’ BNPT dalam program de-radikalisme.
911 WTC: Awal Mula Pemantik Tandhim atas Terorisme Global
Istilah “terorisme” dalam satu dasawarsa terakhir sejak peristiwa serangan terror gedung WTC yang dikenal tragedi 9/11 2001 di AS dan diikuti oleh kebijakan kampanye “war on terror” oleh Presiden AS, Gorge W Bush telah menjadi kosa kata popular di dunia.
Namun, jauh sebelumnya, istilah ‘teror ‘ dipakai pada massa Yunani hingga Romawi Kuno merujuk pada modus penguasa guna mematikan perlawanan atau pemberontakan dan intimidasi masyarakat. Terorisme secara harfiahnya berasal dari kata “terre” atau bergetar (ketakutan). Atas dasar itu, teror adalah tindakan yang membuat seseorang atau sekelompok orang ketakutan.
Istilah “terorisme” menjadi popular dalam sejarah Revolusi Perancis. Di Perancis, pada masa Maximilien Robespierre dari Partai Jacobin (1793-1794), menerapkan rezim de la terreur (rezim teror) dengan mendirikan Comité de salut public alias Komite Keselamatan Publik yang bertugas menegakkan ketertiban selama periode anarkis kelompok kontra revolusioner yang penuh gejolak, pergolakan dan pemberontakan pada sejarah Revolusi Perancis. Oleh karena itu, penggunaan istilah “terorisme” sebagaimana pada masa Yunani Kuno dan Romawi Kuno, periode Revolusi Perancis sebagai tonggak sejarah popularitas istilah “terorisme” juga merujuk pada tindakan kekerasan oleh negara atau penguasa terhadap musuh domestiknya yang dianggap mengganggu stabilitas keamanan dan kekuasaan.
Dengan demikian, teorisme justru berawal dari negara/rezim, bukan dari masyarakat sipil. Inilah yang sebenarnya sebagai bagian dari politik historiografi terhadap politik Islam bernegara; bahwa semua gerakan islam radikal dicap dengan label terorisme dan pemberontak terhadap kekuasaan rezim.
4 Gelombang Gerakan Terorisme
David C Rapoport, dalam bukunya “Modern Terror: The Four Waves” in Audrey Cronin and J. Ludes, (eds), Attacking Terrorism: Elements of a Grand Strategy (Washington, D. C. : Georgetown Univ. Press, 2004), hlm. 46-73 mengelompokkan sejarah modern terorisme ke dalam 4 (empat) gelombang gerakan terorisme selama kurun waktu 1880 hingga 2000-an. Pertama, (1) gelombang pertama adalah gelombang Gerakan terorisme yang terjadi pada kurun waktu 1880 -1920 an. Pada periode ini gerakan terorisme muncul sebagai agenda reformasi politik sipil terhadap rezim otoriter, yang dicontohkan pada gerakan penggulingan Tsar Rusia oleh kelompok Narodnaya Volya. Kedua (2), gelombang kedua adalah gerakan terorisme yang muncul dalam kurun waktu 1920-1960an yakni kelompok-kelompok yang berusaha memperjuangkan kedaulatan nasional, seperti Irish Republican Army (IRA) di Irlandia, dan Front Liberation Nationale (FLN) di Aljazair dan DI/TII (NII) di Indonesia Ketiga, (3) gelombang ketiga adalah gerakan terorisme yang terjadi pada kurun waktu 1970 yakni kelompok terorisme yang melawan kapitalisme global. Kelompok ini berideologi kiri revolusioner, seperti Brigade Merah Italia dan Japanes Red Army, yang mengusung agenda perlawanan terhadap kapitalisme global. Keempat, (4) gelombang keempat adalah gerakan terorisme yang muncul periode 2000an yang didasarkan pada dorongan agama. Al-Qaeda adalah contoh gelombang gerakan terorisme generasi keempat yang memiliki karakteristik destruktif, radikal dan transnasional.
Terorisme di Framing di Indonesia sebagai Islam Radikal (1948)
Terorisme adalah sebuah bentuk dari gerakan sosial yang memiliki kontekstual dengan sejarah lokal. Sztompka (1993:338) menyatakan bahwa semua gerakan sosial berasal dari kondisi historis khusus. Gerakan sosial lahir dalam kecenderungan historis.Namun, yang tidak adil adalah mengapa justru yang radikalis itu selalu diidentikan dengan gerakan politik islam?
Buku “NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia” (Komunitas Bambu, 2011) karya Solahudin menyatakan bahwa dalam sejarah Indonesia sendiri, terorisme bukan tamu gelap yang datang tanpa undangan. Ia tumbuh dari tanah yang sama dengan republik ini berdiri, bahkan jauh sebelum nya, sejak Kolonialisme Barat era VOC (Abad 16-18) dan era Hindia Belanda (18-20) menguasai negeri ini.
Ternyaa pula, bahwa pada awal September 1949 media pers di Indonesia yaitu Koran Berita Indonesia sudah menggunakan istilah “teror” untuk menggambarkan aktivitas Darul Islam atau gerakan DI/TII.Berita Indonesia, “DI Attacked – 100 civilians fell victims”, (17 November 1949)sebagaimana dikutip oleh Ali Abdullah Wibisono dalam Securitisation of Terrorism inIndonesia, Thesis submitted to the University of Nottingham for the degree of Doctor of Philosophy, (Maret 2015), hlm. 18.
Pendapat Solehudin sesuai dengan para peneliti Barat. Boleh jadi hanya merupakan upaya afirmatif. Banyak peneliti Barat (orientalis indonesianis) sebelumnya, yang menulis topik yang sama sebagai contoh, Martin van Brunessen, Genealogies of Islamic Radicalism in Post Suharto Indonesia, 2002, dan Greg Fealy, Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival? (2004); Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2002); Oliver Roy, (terjemahan) Genealogi Islam Radikal (Yogyakarta: Genta Press, 2005) M. Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia:Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi (Jakarta: LP3ES, 2008).
Istilah “radikalisme” berasal dari kata “radika” yang berarti keras, kokoh, maju dan tajam dalam analisa berpikir. Secara umum radikalisme didefinisikan sebagai faham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan (Partanto, 1994:105). Selain itu radikalisme merujuk istilah sejenis seperti militan, garis keras, fundamentalisme atau cara-cara yang digunakan bersifat ekstrim dan tidak bisa diterima oleh orang lain (Cobuild, 2001: 997)
Radikal dalam level wacana adalah adanya mindset mendirikan negara Islam, negara kekhalifan Islam, formalisasi syariat Islam secara kaffah tanpa menggunakan kekerasan terbuka. Islam radikal dimaknai secara luas yaitu dalam bentuk wacana dan aksi. Radikal dalam level wacana adalah adanya mindset mendirikan negara Islam, negara kekhalifan Islam, formalisasi syariat Islam secara kaffah tanpa menggunakan kekerasan terbuka. Sebenarnya gerakan Islam radikal bukanlah sesuatu yang unik, karena memiliki elemen-elemen umum sebagaimana gerakan sosial pada umumnya, seperti struktur organisasi, collective identity, mobilisasi sumber, jaringan sosial dan sebagainya.
Adapun kriteria Islam radikal antara lain, sebagai berikut: pertama, mempunyai ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem pemerintahan yang sedang berlangsung. Kedua, dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-aksi kekerasan, bahkan tidak menutup kemungkinan melakukan intimidasi terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan kelompok mereka. Ketiga, secara sosio-kultural dan sosio-religius kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan ritual yang khas.Keempat, kelompok Islam radikal seringkali bergerak secara bergerilya bawah tanah, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan (Husaini, 2006:243).
Aksi Teror dalam Perang : Dalam al Quran
Dalam al Quran Surah al Anfal (Rampasan Perang): 60, kita menemukan jejak ‘teror’ ini.
Wa a’iddụ lahum mastaṭa’tum ming quwwatiw wa mir ribāṭil-khaili tur-hibụna bihī ‘aduwwallāhi wa ‘aduwwakum wa ākharīna min dụnihim, lā ta’lamụnahum, allāhu ya’lamuhum, wa mā tunfiqụ min syai`in fī sabīlillāhi yuwaffa ilaikum wa antum lā tuẓlamụn.
Artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).
Dalam ayat tersebut, kita menemukan frasa “turhibuna bihi ‘aduw Allah wa ‘aduwwakum” (kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu). Frasa “turhibuna” arti yang merujuk kepada makna ‘teror’, yaitu menakutkan/menggetarkan ‘nyali; musuh-musuh agar takut.
Frasa “turhibuna” bihi ‘aduw Allah wa ‘aduwwakum” (kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu), adalah merancang strategi untuk menggentarkan musuh dengan mengerahkan seluruh upaya dalam masalah keamanan seperti unsur militer, kepolisian dan intelijen. Kata turhibu>na yang memiliki akar kata al-irhab dimaknai dengan usaha yang dilakukan untuk membuat lawan menjadi kagum dan gentar sehingga dapat menyiutkan nyali lawan (Muhammad Rashid Rida, Tafsir al-Qur`an al-Hakim al-Shahir bi Tafsir al-Manar, Juz 10, hal. 70-72).
Di akhir ayat, terdapat redaksi a’iddu yang merupakan bentuk jamak dari kata i’dad yang berarti merencanakan sesuatu untuk masa depan. Dalam ayat ini, terdapat pula kata ribat jika ditinjau dari segi bahasa berarti tali yang mengekang binatang yang ditunggangi. Sedangkan jika dikaitkan pada ayat tersebut, redaksi ‘ribat’ bermakna mempersiapkan kekuatan untuk menggentarkan musuh melalui mempersiapkan persenjataan.
Menurut Rida pengertian dari ribat al-khayl terdiri dari dua macam. Pertama, usaha untuk mempersiapkan tenaga sesuai kemampuan masing-masing. Kedua, meningkatkan kewaspadaan di seluruh tempat-tempat penting dalam suatu negara seperti pelabuhan, bandara, kantor pemerintahan juga perbatasan negeri agar tidak jatuh ke tangan musuh. Sehingga dalam hal ini Rida menafsirkan redaksi ribat al-khayl dengan menyesuaikan konteks zaman yang berkembang. Jika pada masa Rasulullah Saw, peralatan tempur yang digunakan adalah panah, alat pelempar atau Manjaniq juga pasukan berkuda atau kavaleri. Maka pada zaman modern berupa alusista.
Mengubah Sudut Pandang dan Mind Set Berpikir
Dengan demikian, ada yang harus diubah cara membacanya, sudut pandang serta mindset-nya. Bukan publik disuguhi berita-berita tentang terorisme sipil terhadap rezim; atau me-framing teroris sebagai agen pembuat kegaduhan, keonaran, dan membuat ketidaknyamanan masyarakat. Kita membacanya dengan adil. Terorisme itu bermula justru dari negara, bukan masyarakat atau rakyat.
Me-Restat: Makna Radikalisme islam. Jika kita jujur dan mata hati yang terbuka , bahwa perlakuan rezim dalam dua puluh tahun terakhir, sejak era Megawati Soekarnoputri hingga saat ini, jelas bahwa ‘publik’ harus melakukan restat terhadap mindset terhadap radikalisme Islam yang dalam kurun waktu itu menjadi ‘hantu’ yang di-framing dan dijadikan dalil sebagai merugikan masyarakat dan mengganggu roda Pembangunan Nasional.
Bahkan, Menkopolkam RI, Mahfud MD menyampaikan tesisnya tentang 3 (tiga) tingkatan radikalisme, yaitu jihadis, takfiri, dan radikalisme ideologi. Pertama, JIHADIS adalah paling ekstrim yang meyakini melakukan pembunuhan kepada orang lain yang tidak sepaham, atau bahkan membunuh orang dan kelompok tertentu yang dianggap menghalang-halangi terwujudnya paham mereka. Mahfud mencontohkan gerakan yang dilakukan ISIS dan beberapa kelompok terorisme lainnya di Indonesia.Mereka tidak hanya menyerang kelompok yang dianggap sebagai lawan, tetapi juga pihak yang dipandang menghalangi tujuan mereka, misalnya Polri.
Kedua, TAKFIRI menurut Mahfud, adalah paham yang menganggap paham lain, walaupun satu agama, adalah paham yang sesat, kafir, yang tidak saja harus dijauhi tetapi harus dimusuhi.Ketiga, tingkatan radikalisme terakhir yang lunak namun tetap berbahaya adalah RADIKALISME IDEOLOGIS. Mereka memiliki paham tertentu yang dianggap paling benar dan menyalahkan paham yang dianut orang lain, bahkan paham nasional seperti Pancasila pun disebut sesat.
Hal ini menjadi bukti nyata bahwa terorisme dalam bentuk penggalangan perang pemikiran (ghazawul fikr/psywar) melalui bidang hukum, ekonomi,politik dan budaya justru sumbernya adalah kebijakan pemerintah sendiri. Dibentuknya institusi seperti Densus 88, BNPT, dan sejenisnya serta program-program seperti de-radikalisme dan moderasi beragama, menjadi fakta bahwa yang by desain tentang makna dan batasan terorisme, radikalisme bukan berasal dari masyakarat sipil. Dalam skala nasional-global, bahwa hadirnya oligarki yang bekerjasama dengan rezim melalui perubahan konstitusi: UUD 1945 Amandemen 2002, UU Cipta Kerja (2020); dan UU Kepolisian (2002) adalah juga bentuk nyata dari teror melalui jalur hukum dan perundang-undangan. Suatu bentuk dari penjajahan oleh rezim bangsa Indonesia sendiri di negeri yang diakuinya sebagai Negara Pancasila dan sebagai bangsa merdeka sejak Proklamasi 17/8/1945. Nyatanya, seperti “jauh panggang dari api”.






Leave a Reply