#ResetIndonesia: Membaca Hasrat Perubahan Sosial di Tengah Kelelahan Kolektif Bangsa
Oleh:
H. Irwandi, S.Sos., SE., M.Ag.
(Dosen Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
Terasjabar.co – Tagar #ResetIndonesia belakangan menguat di ruang publik digital. Ia muncul bukan sebagai slogan politik formal, melainkan sebagai ekspresi kegelisahan sosial: kelelahan kolektif terhadap berbagai problem struktural, mulai dari ketimpangan ekonomi, krisis kepercayaan terhadap institusi, mahalnya pendidikan dan kesehatan, hingga kecemasan generasi muda terhadap masa depan.
Dari sudut pandang sosiologi, fenomena ini menarik karena menunjukkan bagaimana masyarakat sedang berada pada fase reflektif terhadap arah perjalanan bangsanya.
Reset sebagai Ekspresi Kesadaran Kritis Masyarakat
Dalam sosiologi klasik, Émile Durkheim (1897) menyebut kondisi masyarakat yang kehilangan pegangan nilai bersama sebagai anomie. Gejala ini terlihat ketika aturan sosial tidak lagi memberi rasa aman dan keadilan, sehingga individu merasa terasing dalam sistem yang seharusnya melindungi mereka. Tagar ResetIndonesia dapat dibaca sebagai bentuk kesadaran kolektif bahwa tatanan sosial yang ada tidak sepenuhnya bekerja sebagaimana mestinya.
Reset, dalam konteks ini, bukan berarti kehancuran total atau penolakan terhadap negara, melainkan simbol keinginan untuk menata ulang relasi sosial, struktur kebijakan, dan orientasi pembangunan agar lebih berpihak pada kebutuhan nyata masyarakat.
Media Sosial dan Produksi Kesadaran Kolektif Baru
Manuel Castells (2012) menjelaskan bahwa di era network society, media sosial berperan sebagai ruang produksi makna sosial. Aspirasi publik tidak lagi dimediasi sepenuhnya oleh elite politik atau media arus utama, melainkan diproduksi secara horizontal oleh warga. ResetIndonesia adalah contoh bagaimana kekecewaan personal bertransformasi menjadi narasi kolektif melalui jejaring digital.
Di sinilah sosiologi melihat media sosial bukan sekadar alat komunikasi, tetapi arena konflik makna—antara narasi resmi negara dan pengalaman hidup warga sehari-hari. Ketika jurang antara keduanya melebar, lahirlah tuntutan simbolik untuk “reset”.
Krisis Kepercayaan dan Delegitimasi Institusi
Anthony Giddens (1991) dalam konsep late modernity menekankan bahwa masyarakat modern sangat bergantung pada kepercayaan terhadap sistem abstrak seperti hukum, birokrasi, dan pasar. Ketika sistem ini gagal menghadirkan rasa keadilan dan kepastian, kepercayaan publik melemah.
Fenomena ResetIndonesia dapat dipahami sebagai sinyal delegitimasi sosial: masyarakat tidak sepenuhnya percaya bahwa mekanisme yang ada mampu menyelesaikan persoalan mendasar seperti pengangguran, biaya hidup, atau kesenjangan kesempatan. Dalam bahasa sosiologi, ini adalah bentuk krisis legitimasi struktural, bukan sekadar keluhan emosional.
Generasi Muda dan Politik Kecemasan Sosial
Generasi muda menjadi aktor paling vokal dalam wacana reset. Ulrich Beck (1992) menyebut masyarakat modern sebagai risk society, di mana individu hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian. Ketakutan akan masa depan, pekerjaan yang rapuh, pernikahan yang terasa berisiko, biaya hidup yang tak sebanding dengan upah, mendorong generasi muda mempertanyakan kontrak sosial yang diwariskan kepada mereka.
Dalam konteks ini, #ResetIndonesia adalah bahasa generasi yang merasa bekerja keras namun tidak memperoleh jaminan mobilitas sosial yang adil.
Reset atau Reformasi Sosial?
Sosiologi mengingatkan bahwa perubahan sosial yang berkelanjutan tidak lahir dari kehancuran, melainkan dari refleksi struktural dan reformasi institusional. Talcott Parsons (1951) menegaskan bahwa sistem sosial bertahan bukan karena kaku, tetapi karena kemampuannya beradaptasi.
Karena itu, tantangan terbesar dari ResetIndonesia bukan pada seberapa keras slogan itu disuarakan, melainkan sejauh mana ia diterjemahkan menjadi agenda sosial yang konstruktif: perbaikan tata kelola, kebijakan yang lebih inklusif, dan ruang dialog yang setara antara negara dan warga.
Reset sebagai Cermin, Bukan Ancaman
Dari perspektif sosiologi, #ResetIndonesia bukan ancaman bagi negara, melainkan cermin bagi struktur sosial yang perlu dibenahi. Ia adalah tanda bahwa masyarakat masih peduli, masih berharap, dan masih ingin terlibat dalam menentukan arah masa depan bersama.
Pertanyaannya bukan apakah Indonesia perlu di-reset, tetapi bagian mana dari sistem sosial kita yang perlu dikoreksi agar kembali selaras dengan nilai keadilan, kesejahteraan, dan martabat manusia. Jika suara ini diabaikan, maka kegelisahan kolektif bisa berubah menjadi apatisme sosial, dan itu justru jauh lebih berbahaya bagi keberlanjutan bangsa.





Leave a Reply