Ulul Albab vs Intelektual Oligarkis: Pertarungan Akal yang Merdeka dan Akal yang Dijual

Oleh:
Achmad Tans
(Explorer Fitrah Values/XFITVAL)

Terasjabar.co – Zaman ini tidak kekurangan orang pintar. Yang langka adalah akal yang jujur.Di layar televisi, ruang seminar, dan lembar kebijakan publik, kita menyaksikan para “ahli” berbicara dengan data, grafik, dan istilah teknokratis.

Namun hasilnya sering kali paradoksal: lingkungan rusak, kesenjangan melebar, dan masyarakat makin terasing dari alam dan dari dirinya sendiri.

Di titik inilah QS Ali ‘Imran ayat 7 menemukan relevansinya kembali. Ayat ini tidak hanya membedakan antara ayat muhkamat dan mutasyabih, tetapi secara implisit membedakan dua tipe intelektual:

  1. Ulul Albab: pemilik akal yang merdeka dan bertanggung jawab.
  2. Intelektual Oligarkis: pemilik kecerdasan yang dikontrak kekuatan uang.

Ulul Albab: Akal yang Berakar pada Fitrah

Al-Qur’an tidak menyebut ulul albab sebagai orang yang paling pintar, melainkan yang mampu mengambil pelajaran (yazzakkar). Ini penting.

Akal ulul albab memiliki tiga ciri utama yaitu:

  1. Akal yang berlapis nurani. Ia tidak berhenti pada “apa yang mungkin dilakukan”, tetapi bertanya, “apa yang pantas dilakukan?”
  2. Akal yang mengenal batas. Sebagaimana disebut dalam QS Ali ‘Imran ayat 7, mereka tidak memaksakan tafsir atas wilayah yang Allah simpan dalam ilmu-Nya. Kerendahan hati epistemik adalah kekuatan mereka.
  3. Akal yang memihak kehidupan. Ulul albab membaca alam sebagai ayat, bukan sebagai komoditas. Hutan bukan sekadar standing stock, air bukan sekadar economic good, dan manusia bukan sekadar human capital.

Intelektual Oligarkis: Ketika Ilmu Kehilangan Jiwa

Berbeda dengan ulul albab, intelektual oligarkis bukan kekurangan ilmu, tetapi kehilangan orientasi etik dan moral. Mereka dicirikan oleh bahasa akademik yang canggih,netralitas semu dan klaim objektivitas yang steril dari etika.

Namun di balik itu, ilmu mereka berfungsi sebagai:justifikasi perampasan tanah, normalisasi kerusakan ekologis,legitimasi kebijakan yang menguntungkan segelintir elite. Inilah yang oleh Karl Polanyi disebut sebagai “disembedded intellect”, ilmu yang terlepas dari masyarakat dan nilai kemanusiaan.

Mutasyabih sebagai Alat Oligarki

QS Ali ‘Imran ayat 7 mengingatkan bahwa ayat-ayat yang samar sering dijadikan alat fitnah oleh mereka yang hatinya menyimpang. Dalam konteks modern, mutasyabih tidak selalu berupa ayat Al-Qur’an, tetapi juga:statistik yang ambigu,model ekonomi yang asumtif,dan narasi pembangunan yang tak pernah diuji secara etis

Ketika konsep-konsep ini disajikan tanpa kejujuran, ia menjadi mutasyabih sekuler, samar tapi dipaksakan, rumit tapi menyesatkan.

Dari Wahyu ke Kebijakan: Siapa yang Berhak Menafsirkan Realitas?

Ulul albab berkata:“Kami beriman, semuanya dari Tuhan kami”. Sementara, intelektual oligarkis berkata (secara implisit): “kami tahu apa yang terbaik, tanpa perlu nilai transenden.”

Yang pertama tunduk pada kebenaran, yang kedua menundukkan kebenaran pada kepentingan. Akibatnya krisis lingkungan diperlakukan sebagai peluang bisnis; penderitaan rakyat dianggap externality; alam diperas atas nama pertumbuhan.Ini bukan krisis data, tetapi krisis akal.

Pendidikan: Pabrik Ulul Albab atau Inkubator Oligarki?

Pertanyaan pentingnya, sistem pendidikan kita sedang melahirkan siapa? Jika pendidikan hanya:mengejar ranking, mengabdi pada pasar, memutus ilmu dari nilai. Maka ia sedang mencetak intelektual oligarkis massal, terampil, patuh, dan bisu secara moral.

Ulul albab lahir bukan dari kurikulum teknis semata, tetapi dari pembiasaan tafakur, keberanian bersikap, kesadaran amanah.

Manifesto Akal Merdeka Untuk Hutan dan Air

Kita meyakini bahwa krisis hutan dan krisis air bukan semata krisis teknis, melainkan krisis akal dan nurani. Bumi rusak bukan karena kekurangan ilmu, tetapi karena ilmu yang dipisahkan dari fitrah, akal yang dijual kepada kekuatan uang, dan tafsir yang dibelokkan demi kepentingan oligarki.

Akal bukan alat pembenar kerusakan, melainkan penjaga amanah kehidupan. Menolak akal teknokratis yang netral palsu, yang diam terhadap kerusakan atas nama data dan prosedur.

Hutan adalah ayat Allah, bukan sekadar standing stock atau objek konsesi. Setiap kebijakan yang merusak hutan adalah
pelanggaran amanah. Menolak greenwashing, yang menjadikan kehancuran ekologis tampak sah secara administratif.

Air adalah hak kehidupan, bukan komoditas spekulatif. Privatisasi air yang menyingkirkan rakyat adalah kezaliman struktural, walau dilegalkan oleh regulasi. Krisis air selalu berakar pada rusaknya hulu, rusaknya akal, dan rusaknya niat.

Menolak menjadi intelektual oligarkis, yang fasih bicara keberlanjutan sambil menutup mata pada kehancuran.Ilmu yang membela perusakan bukan ilmu, tapi alat.

Berpihak pada kehidupan, serta percaya akal yang tunduk kepada Allah akan menjaga bumi,dan akal yang tunduk kepada oligarki akan mengubur peradaban.

Memilih Akal, Memilih Masa Depan

QS Ali ‘Imran Ayat 7 menutup dengan seleksi yang tegas: “Tidak ada yang mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.”Ayat ini seakan berkata: tidak semua intelektual lulus ujian wahyu.

Di hadapan krisis ekologis, ketimpangan ekonomi, dan distopia kebijakan, umat, bahkan dunia, tidak sedang membutuhkan lebih banyak “ahli”. Yang dibutuhkan adalah ulul albab: akal yang jernih, berani, dan berpihak pada kehidupan. Karena akal yang dijual akan membenarkan kehancuran, sementara akal yang merdeka akan menjaga peradaban.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

12 + 1 =