AKAR BERMASALAH: Fenomena “Bibit Unggul” Mencabut Diri dari Kebun Pembibitan

Oleh:
H. Fahru Rozi Ramdhan Nur El Fajri, S.S., M.Pd.

Terasjabar.co – ​Dunia pendidikan kini tengah diselimuti ironi yang membalikkan kausalitas. Jika dahulu kita sering merenungkan ketidaksabaran seorang Gardener (Guru) dalam menghadapi keunikan karakter benih (Murid), kini kita dihadapkan pada skenario yang jauh lebih pelik: para Bibit Unggul modern yang justru merasa tidak sabar dan merasa berhak mendikte kondisi pertumbuhan mereka sendiri.

​Dalam analogi dunia tumbuhan, lembaga pendidikan kita adalah Kebun Pembibitan yang Berpengalaman. Di dalamnya, para Guru, layaknya Petani Senior, telah berpuluh musim meracik media tanam (kurikulum) dan formula pupuk (metode ajar) yang teruji secara empiris mampu menghasilkan ‘Pohon Jati’ yang kokoh dan berakar kuat. Mereka tahu persis bahwa untuk menghasilkan panen yang berkelanjutan, proses aklimatisasi dan penguatan akar harus didahulukan, jauh sebelum tuntutan untuk ‘berbuah emas instan’ dapat dipenuhi.

​Namun, kita menyaksikan patologi baru. Bibit-bibit yang konon merupakan generasi tercepat ini mulai gelisah. Mereka membandingkan proses pertumbuhan mereka (yang mestinya bersifat organik dan internal) dengan kecepatan informasi yang mereka serap (yang bersifat eksternal dan digital).

​Narasi di Kebun Pembibitan mulai berubah dan terjadi penolakan terhadap proses. Bibit-bibit ini menganggap teknik penyiraman dan pemangkasan sang Petani sebagai “kuno” atau “terlalu lambat.” Mereka menolak fakta bahwa kekokohan sebuah pohon ditentukan oleh betapa dalam dan sabarnya ia menancapkan akar di tanah, bukan seberapa cepat daunnya tumbuh.

Mereka menuntut Petani untuk mengganti seluruh media tanam hanya demi memuaskan ekspektasi sesaat mereka, seolah-olah pengalaman puluhan musim sang Petani tak lagi relevan di hadapan tren pertumbuhan terbaru di media sosial.

Puncaknya adalah tragedi ini: Bibit-bibit itu, dengan segala potensi unggulnya, mencabut akarnya sendiri dari pot yang sehat. Mereka meninggalkan lahan yang stabil, membawa modal minim berupa serpihan tanah, dan memilih untuk ‘menanam diri’ di lahan bebas yang tak terawat, dengan harapan palsu akan pertumbuhan yang serba cepat dan instan.

​Ironinya, di luar Kebun Pembibitan, pertumbuhan instan yang mereka cari seringkali berakhir dengan akar yang dangkal, mudah tumbang oleh badai musim, atau menjadi vegetasi liar yang cepat layu. Ini adalah kritik pedas bagi ekosistem pendidikan dan pengasuhan kita yang, sadar atau tidak, telah menanamkan mindset serba cepat dan serba mudah pada generasi ini.

Fenomena negatif ini memerlukan solus. ​Fenomena ini membutuhkan intervensi holistik, yang tidak hanya menyalahkan benih yang tidak sabar, tetapi juga menuntut Petani untuk memperbarui alat komunikasi mereka:

  1. Peran Petani (Guru/Lembaga)
    Rasionalisasi Kurikulum: Petani harus lebih vokal dalam menjelaskan Mengapa media tanam itu penting. Guru harus mampu merasionalisasi setiap tahap kurikulum, bukan hanya apa yang diajarkan, tetapi mengapa fondasi ini harus dibangun perlahan. Hubungkan setiap mata pelajaran dengan kebutuhan penguatan akar di masa depan.
    Adaptasi Alat Komunikasi: Teknik dasar menanam mungkin tetap sama, tetapi cara mengkomunikasikannya harus relevan dengan teknologi. Petani tidak boleh kaku pada cangkul, tetapi harus siap menggunakan drone untuk pemetaan, misalnya. Ini berarti mengintegrasikan metode digital yang mempercepat pemahaman, tanpa mengorbankan kedalaman.
    Mengubah Pot Menjadi Lahan Terbuka: Alih-alih pot yang terasa sempit, berikan proyek dan pembelajaran yang mensimulasikan lahan terbuka dunia nyata. Biarkan Bibit-Bibit ini sesekali merasakan tantangan angin dan hama (tantangan praktis), sehingga mereka memahami nilai pentingnya nutrisi yang diberikan Petani.
  2. Peran Benih (Murid) dan Pengasuh
    Pendidikan Growth Mindset Organik: Tanamkan kesadaran bahwa pertumbuhan sejati adalah proses organik yang membutuhkan kesabaran, resistensi, dan waktu. Kita harus melawan budaya instan yang didorong oleh media sosial. Kesuksesan sejati adalah akar yang kuat, bukan sekadar buah yang cepat matang.
    Dialog Tumbuh: Fasilitasi ruang dialog di mana Bibit dapat menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap media tanam, tetapi dengan syarat mereka mendengarkan dan mencoba memahami perspektif Petani yang berdasarkan data musim panen sebelumnya.
    Apresiasi Proses (Bukan Hanya Hasil): Pujian dan penghargaan harus difokuskan pada upaya, kegigihan, dan kemampuan bertahan dalam proses yang sulit, bukan hanya pada nilai ujian yang sempurna.

​Intinya, lembaga pendidikan harus berhenti menjadi sekadar tempat penitipan bibit dan bertransformasi menjadi Laboratorium Ekosistem yang mengajarkan tentang Hukum Alam Pertumbuhan.

​Jika Petani berhasil merasionalisasi proses dan Bibit mampu menerima bahwa kecepatan bukanlah segalanya, maka tragedi cabut-diri ini dapat dihindari, dan Kebun Pembibitan kita akan kembali menghasilkan Pohon-Pohon Unggul yang tidak hanya tinggi menjulang, tetapi juga mampu menopang badai.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

thirteen − 13 =