Perang Bubat dan Sumpah Palapa Dalam Politik Historiografi
Oleh”
Nunu A. Hamijaya
(Pusat Studi Sunda)
Terasjabar.co – Perang Bubat menimbulkan polemik identitas yang masih berlanjut hingga sekarang. Diyakini, bahwa Perang bubat adalah pertempuran antara keluarga Kerajaan Sunda dengan tentara Kerajaan Majapahit. Luka harga diri masyarakat Sunda karena peristiwa Bubat terwariskan secara turun-temurun melalui tradisi lisan yang kental. Masyarakat Sunda yang menjadi korban pengkhianatan Majapahit menjawantahkan kebenciannya terhadap orang Jawa melalui pembentukan ulang identitasnya untuk menciptakan komunitas yang berbeda.
Akan tetapi, historisitas Perang Bubat masih dipertanyakan, apakah benar terjadi? Sekian banyak bukti artefak arkeologi, folklor lisan ataupun kronik sejarah.
Perang Bubat masih merupakan sindrom masyarakat sampai saat ini. Peristiwa ini terekam dalam kidung berbahasa Jawa Pertengahan, Kidung Sunda dan Kidung Sundayana, yang ditulis dengan penuh simpati kepada nasib rombongan Raja Sunda di Alun-Alun Bubar, Majapahit (Jakob Sumardjo, Kritikus Sastra).
Mitos itu merupakan bentuk devide et impera yang seakan-akan menjadi doktrin dari kedua suku dan tanpa disadari menjadi hal yang tertanam kuat dari sebagian kecil masyarakat Jawa dan Sunda saat ini.
Namun, mitos ini dicairkan dengan fakta bahwa nama Bandara Internasonal Surabaya, adalah Ir. Djuanda, seorang Sunda, mantan Perdana Menteri di era Soekarno.Namun, baru di era Gubernur Ahmad Heryawan (2018), terdapat tiga jalan di Kota Bandung yang namanya diubah, yaitu Jalan Pusdai menjadi Jalan Citraresmi, Jalan Gasibu menjadi Jalan Majapahit, dan Jalan Cimandiri menjadi Jalan Hayam Wuruk. Kekecualiannya, hanya di Cirebon yang ada Jalan Gajahmada.
Tinjauan Naskahnya Ditulis 200 tahun Kemudian
Jika benar bahwa ‘perang’ Bubat itu memang fakta sejarah yang terjadi pada abad ke-14, tepatnya pada tahun 1357. Anehnya, sumber-sumber tertulis yang mengisahkannya, seperti dalam Carita Parahyangan di Abad ke-16, Salinan tertua Pararaton pada abad ke-17, dugaan penulisan kidung Sunda, dan dugaan penulisan Kidung Sundayana berbahasa Jawa Kuna (Tengahan).
Kitab Pararaton diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-15.Pada zaman VOC (tambahan penyalinan kekawin tersebut pada bulan Kartika atau Oktober-November tahun Saka 1662 atau Masehi 1740). Adapun Fragmen Carita Parahyangan yang telah digarap UNDANG A. DARSA dan EDI S EKADJATI, diterbitkan dengan judul Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan (Kropak 406) (Bandung: Pusat Studi Sunda, 1995; Lihat pula: Undang A. Darsa dan Edi S. Ekadjati, “Fragmen Carita Parahyangan”, dalam: Sundalana, 1, 2003). Naskah tersebut ditulis dalam bahasa Sunda kuno.
Maka, ada ruang waktu yang cukup lama yaitu sekitar 100 -200 tahun lebih kisah tersebut dituliskan setelah kejadiannya. Artinya, naskah-naskah itu semuanya adalah naskah-naskah yang tidak sejaman.Ada kekosongan waktu itu selama seratus tahun lebih, tentunya yang paling logis berasal dari sastra lisan (folklore) dari mulut ke mulut oleh penduduk Majapahit yang sampai terdengar ke wilayah Kerajaan Sunda.Sebab, tidak ada satupun saksi mata orang atau pelaku orang Sunda yang hidup saat persitiwa tersebut. Maka, berita itu tentulah disampaikan oleh orang-orang Jawa Majapahit sendiri.
Dengan demikian, terkait sumber-sumber yang menceritakan peristiwa Perang Bubat, semua sumber itu bukanlah sumber primer melainkan sekunder. Karena peristiwa itu terjadi pada abad ke-13, sementara Kitab Pararaton diperkirakan ditulis pada abad ke-15, sedangkan Carita Parahyangan pada abad ke-16.
Politik Historiografi: Mitos Perang Bubat
Perang Bubat diangkat sebagai desertasi oleh orang Belanda yang mengaku sejarawan bernama C.C. Berg pada tahun 1927-1928 berdasar pada Kidung Sunda dan Kidung Sundayana.
Disertasi Berg perlu ditelaah secara kritis, Kidung Sunda dan Sundayana yang sebelumnya diperkirakan ditulis di Abad-16, padahal Perang Bubat terjadi pada Abad-14, karena terpaut waktu 200 tahun yang menjadikan kisah ini menjadi tidak valid terkait tidak ada catatan lain mengenai kisah ini dari sumber sejaman.
Selain itu, teryata ditemukan fakta baru, Kidung itu baru ditulis pada 1927-1928 oleh Berg. Dalam desertasi ia menyadur dari sumber sejarah sebelumnya yang disebut naskah asli, namun sampai halaman terakhir, ia tak pernah menyebut naskah aslinya. Sehingga dapat dipastikan, ia tidak pernah meng”copy-paste”, karena naskah aslinya dipastikan tidak pernah ada, tetapi direkayasa seakan naskah itu ada. Dalam disertasinya tersebut, Berg tidak menjelaskan dari mana sumber naskah asli ‘Kidung Sunda’ dan ‘Kidung sundayana’. Terlebih dari 50 prasasti Majapahit dan 30 prasasti Sunda Galuh, tidak ada satupun yang menyebutkan peristiwa perang di Bubat.
Eksisting Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit
Keberadaan kerajaan Sunda diketahui dari Carita Parahyangan (abad ke- 16) Sumber lain yang menyebutkan adanya Kerajaan Sunda adalah Prasasti Sanghyang Tapak dan Prasasti Batu Tulis.
Diperkirakan, Kerajaan Sunda ada pada tahun 932 sampai 1579 Masehi. Kerajaan Pajajaran berakhir di masa kekuasan Ragamulya Suryakancana pada 1579 Masehi.Pusat kerajaan Sunda yang berpindah-pindah itu pernah berlokasi secara kronologis sebagai berikut: Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan. Jadi kerajaan Sunda itu berakhir pada waktu pusat kerajaannya berkedudukan di Pakuan Pajajaran (Bogor). Saleh Danansasmita dalam “Latar Belakang Sosial Sejarah Kuno Jawa Barat dan Hubungan antara Galuh dengan Pajajaran” dimuat Sejarah Jawa Barat.
Adapun Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 khususnya pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk (Śrī Rājasanagara) dari pemberitaan Prapañca di dalam kakawin Nāgarakṛtâgama yang ditulis oleh Mpu Prapanca, dalam Bahasa Kawi pada bulan Aswina tahun Saka 1287 (September-Oktober 1365 Masehi). Didlaam kitab tersebut tidak sedikitpun kisah tentang peristiwa ‘Perang Bubat’.
Di dalam kitab Nāgarakṛtâgama (pupuh 86:1) memang disebutkan tentang Bubat yang merupakan sebuah lapangan (tgal anama ng bubat) yang terletak tidak jauh dari pusat kota dan tiap bulan Caitra digunakan untuk penyelenggaraan pesta kerajaan. Lihat: Pigeaud, Java in the 14th Century: A Study in Cultural History (The Hague: Martinus Nijhoff), I, 1960.
Arkeologi-sejarawan Dr. HASAN DJAFAR,(2014) meragukan dengan menyatakan ‘kalaulah itu memang terjadi’, adanya sejarah perang Bubat itu, namun ia menyatakan, bahwa Hayam Wuruk dan Gajah Mada adalah tokoh sejarah. Sedangkan, arkeolog UI, AGUS ARIS MUNANDAR, dalam buku berjudul Gajah Mada: Biografi Politik menganggap bahwa Perang Bubat merupakan peristiwa historis dengan berbagai sumber sejarah yang meliputi bukti arkeologis, folklor lisan sampai kronik sejarah.
Politik Historiografi: Mitos Sumpah Palapa
Soekarno dan Muhammad Yamin, elit pemimpin nasional yang membawa politik historografi dalam sejarah nasional Indonesia, berkeyakinan bahwa untuk mempersatukan bangsa Indonesia seluruh Nusântara pada masa-masa perjuangan menjelang kemerdekaan , maka mereka mengambil “Konsep Persatuan Nusântara” seperti yang pernah terjadi pada masa keemasan Kerajaan Majapahit.
Kitab Pararaton merupakan satu-satunya sumber tertulis Majapahit yang mengemukakan adanya Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada di hadapan Raja Tribhūwana dalam suatu upacara pengangkatan Gajah Mada sebagai Patih Amangkubhūmi pada tahun Śaka 1256 (1334 Masehi). Kita tidak mempunyai sumber tertulis yang lain terutama sumber berupa prasasti yang dapat digunakan sebagai pembanding, apalagi sebagai bahan pembuktian. Kebenaran Sumpah Palapa itu sangat diragukan.
Dari sepuluh daerah di Nusântara yang dicanangkan oleh Gajah Mada untuk ditaklukkan hanyalah dua yang ditundukkan oleh Gajah Mada, yaitu Bali dan Dompo. Itupun karena alasan yang lain. Jadi sebenarnya apa yang disebut “penaklukan” Nusântara atau Dwīpântra seperti yang disebutkan dalam “Sumpah Palapa” itu tidaklah pernah terjadi.
Dengan demikian maka Nusântara atau Dwīpântara itu bukanlah wilayah Kerajaan Majapahi, atau jajahan Majapahit yang diperoleh melalui penaklukkan. Bahkan, Kerajaan Sunda, hingga Majapahit sudah runtuhpun pada tahun 1519, kerajaan Sunda masih berdiri dan merdeka, tidak pernah dijajah ataupun ditundukkan oleh Majapahit (Dr. HASAN DJAFAR, 2014).
Daerah-daerah di Nusântara tersebut merupakan daerah-daerah merdeka yang memiliki kedaulatan, dan bukanlah daerah jajahan atau kekuasaan Kerajaan Majapahit. Nāgarakṛtâgama hanya menyebut ada 15 kerajaan daerah (nāgara) yang secara keseluruhan merupakan wilayah Kerajaan Majapahit.
Maka, dapat disimpulkan bahwa daerah-daerah atau kerajaan-kerajaan lain di luar wilayah Kerajaan Majapahit, yang disebut Dwipântara atau Nusântara, bukanlah wilayah taklukan atau daerah kekuasaan Kerajaan Majapahit, melainkan daerah-daerah atau kerajaan-kerajaan yang merdeka dan berdaulat. Persatuan Nusântara di bawah kerajaan adikuasa Majapahit hanyalah merupakan suatu bentuk kerjasama regional untuk kepentingan bersama. Pada masa itu Kerajaan Sunda, kerajaan Malayu dan kerajaan-kerajaan lainnya di Nusântara adalah kerajaan-kerajaan yang merdeka dan berdaulat, tidak pernah dijajah atau ditaklukkan sehingga menjadi bagian atau wilayah Kerajaan Majapahit.
Timbulnya pemikiran tentang konsep penjajahan kerajaan-kerajaan itu adalah akibat salah penafsiran terhadap sumber Nāgarakṛtâgama karya Prapañca, sehingga timbul kesan seolah-olah kerajaan-kerajaan lain di luar Majapahit itu adalah wilayah jajahan Majapahit.






Leave a Reply