Rumah Tanpa Pintu

Oleh:
Ummu Fahhala, S.Pd.
(Prakstisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

Terasjabar.co – Senja turun pelan seperti debu keemasan yang jatuh di bibir jendela, dan di sebuah ruang guru yang pengap lampu neon gemetar menahan usia. Seorang guru tua menatap laptop yang sering mati sendiri. “Indah benar penghargaan itu,” gumamnya pelan. “Rumah Pendidikan terbaik untuk guru. Tapi apakah penghargaan mampu menebus jiwa yang lama letih?”

Dari layar televisi muncul nama Kepala Dinas Pendidikan yang menerima anugerah nasional. Sorak dan tepuk riuh memenuhi ruangan. Negeri merasa telah menanam kemajuan. Platform digital disebut sebagai bukti dampak bagi guru dan murid. Dunia seakan bergerak cepat dan semua harus ikut atau hilang.

Namun di ruang itu, ada hati yang bertanya: Kemajuan untuk siapa? Dan jiwa siapa yang sedang dikorbankan?

Menguji “Rumah” Tanpa Jiwa

Penghargaan adalah tanda. Tetapi tanda bukan substansi. Digitalisasi adalah alat. Tetapi alat bukan ruh pendidikan. Ketika teknologi diposisikan sebagai penentu mutu, kita menciptakan rumah tanpa pintu, fasilitas hadir, namun akses jiwa tertutup.

Pendidikan tidak dimulai dari gawai, melainkan dari kepribadian. Dari guru yang utuh sebagai pengajar akal dan pembimbing moral. Dari pemimpin yang memahami bahwa sekolah bukan pabrik nilai, tetapi arena lahirnya manusia.

Di sini persoalan mendalam muncul, bahwa pendidikan di Jawa Barat, bahkan nasional, bukan hanya soal kurangnya teknologi. Ia adalah absennya paradigma. Pendidikan dipaksa melayani ekonomi, bukan membangun peradaban. Sistem kapitalisme sekuler menjadikan sekolah sebagai ruang produksi, guru sebagai operator, dan murid sebagai angka yang harus naik demi grafik pertumbuhan.

Padahal Allah Swt. berfirman, “Niscaya Allah meninggikan derajat orang beriman dan berilmu.” (QS Al-Mujadalah [58]: 11). Tingginya martabat bukan karena login aplikasi, bukan karena sertifikat administrasi, tetapi karena iman dan ilmu.

Di balik penghargaan, guru memikul beban mental. Ia mengatrol nilai siswa demi target kelulusan. Ia meluluskan murid yang belum paham materi karena sistem tidak mengizinkan kegagalan. Ia menipu nuraninya agar sekolah tampak baik.

Beban ekonomi menambah luka. Gaji rendah, profesionalitas diminta tinggi. Guru honorer mengejar dua pekerjaan. Sertifikasi menjerat administrasi. Waktu mengajar hilang tergantikan laporan.

Ketika digitalisasi datang, guru dipaksa menjadi operator sistem. Tugas pedagogis terdesak oleh upload, update, unggahan. Di daerah 3T, listrik dan internet menjadi kemewahan.

Sistem kapitalisme menempatkan pendidikan sebagai komoditas. Prinsipnya sederhana: modal rendah, output tinggi. Maka, guru dibayar murah namun dituntut menghasilkan generasi unggul. Ini ironi yang melelahkan.

Pemimpin sekuler merasa cukup dengan menyalurkan aplikasi. Padahal pendidikan memerlukan pengasuhan menyeluruh: ekonomi, energi, infrastruktur, komunikasi, dan arah ideologis yang jelas. Tanpa itu, guru kehilangan orientasi. Murid kehilangan kepribadian. Bangsa kehilangan arah.

Menegakkan Paradigma Peradaban

Islam menawarkan jalan yang lebih besar daripada digitalisasi: perubahan sistemik. Negara bertindak sebagai raa’in, yaitu pengasuh umat. Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari)

Dalam sistem Islam, pendidikan adalah kebutuhan publik, bukan industri. Negara wajib menanggung pembiayaan, menyediakan fasilitas, membangun infrastruktur, dan menyejahterakan guru. Bahkan ketika baitulmal kosong, pendidikan tetap menjadi prioritas.

Islam merancang pendidikan bukan untuk menghasilkan tenaga kerja, tetapi insan berkepribadian Islam, yakni beriman, berilmu, bertakwa, dan beramal. Kurikulumnya menyatukan akal dan akidah, ilmu dan moral. Guru diperlakukan sebagai pilar peradaban, digaji layak, diperlengkapi, difasilitasi.

Sejarah mencatat bagaimana pemimpin di masa peradaban Islam, mendirikan Baitul Hikmah, madrasah Nizhamiyah, dan pusat riset. Ilmuwan dibayar puluhan dinar emas yang setara puluhan juta rupiah per bulan hari ini. Dukungan tidak berhenti di sarana; ia mencakup pembentukan arah intelektual umat. Di sinilah letak solusi, dengan mengembalikan pendidikan sebagai wahana meninggikan martabat manusia, bukan mengejar citra teknologi.

Rumah Pendidikan boleh mendapat anugerah. Tetapi guru membutuhkan rumah yang lebih hakiki: keamanan ekonomi, keteduhan moral, dan kepastian arah. Tanpa itu, penghargaan tinggal pujian kosmetik di atas luka sistemis.

Digitalisasi dapat menjadi pelengkap, tetapi tidak boleh menggantikan tugas negara dalam mengasuh peradaban. Guru bisa memegang gawai, namun tetap menggenggam iman. Murid boleh menyerap ilmu, namun tetap menegakkan akhlak.

Masa depan tidak dibangun oleh statistik, tetapi oleh sistem yang mengasuh manusia. Di sinilah kita berdiri: mengapresiasi kemajuan, namun tetap menolak ilusi. Karena pendidikan bukan arena lomba aplikasi. Ia adalah ruang takdir umat. Dan umat yang ingin bangkit tidak akan membangun rumah tanpa pintu. Wallahualam.

Bagikan :

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

one × three =