Efek Kegaduhan Kenaikan Harga Pangan dan BBM

Oleh:
Sadikun Citra Rusmana
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pasundan

Terasjabar.co – Kegaduhan di tahun 2024 muncul ketika harga pangan, khususnya beras, naik tanpa diketahui awalnya. Harga beras premium mencapai berkisar antara Rp. 17.000,00-Rp. 18.000,00, beras medium Rp. 15.000,00- Rp. 15.500,00. Di pasar dan tengkulak tidak ada lagi beras Rp. 13.500,00 yang biasa menjadi pilihan mayarakat menengah bawah. Ada informasi beredar, termasuk dari Presiden Joko Widodo bahwa harga beras mengalami kenaikan karena pasokan terbatas, gagal panen dan perubahan cuaca el Nino. Tapi semuanya tidak memberikan informasi yang riil bagi masyarakat.

Demikian pula dengan harga BBM (bakar bakar minyak). Pada H -2 sebelum kenaikan harga BBM, di berbagai titik SPBU, terjadi antrian panjang. Pengemudi kendaraan bertahan dengan rasa cemas menunggu giliran mengisi BBM, khususnya jenis Pertalite. Berita yang  yang beredar dari mulut ke mulut hari itu pemerintah  akan menaikan harga BBM bersubsidi. Namun berita itu ternyata hanya hoaks. Kecemasan hilang untuk sesaat, dan pada ahirnya masyarakat mendengar langsung pemerintah mengumumkan kenaikkan tiga jenis BBM yaitu Pertalite, Pertamax, dan Dexlite. Kecemasan muncul lagi di wajah masyarakat pengguna kendaraan, khususnya lapisan menengah ke bawah.

Haruskah kecemasan demi kecemasan dirasakan oleh masyarakat? Seolah kecemasan itu menjadi bagian dari penyakit yang tidak akan hilang. Pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo hanya menyatakan”…ini keputusan yang berat, keputusan yang diambil dengan mempertimbangkan berbagai aspek…”. Pernyataan itu seperti angin dalam gelombang badai. Tak terdengar. Apalagi presiden sudah fokus ikut kampanye Pemilu mendukung calon presiden dan wakil presiden pasangan calon 02. Beredar juga kabar bahwa kenaikan beras dan BBM akibat dari penyaluran bansos beras dan bantuan tunai 2024 yang tak rasional menjelang pencoblosan 14 Februari 2024.

Sejak Republik Indonesia berdiri dan dipimpin oleh tujuh presiden, pernyataan kepala negara atas kebijakan menaikan harga pangan dan BBM akan selalu demikian kalimatnya. Hanya ada beberapa kata yang disertakan, misalnya disesuaikan dengan harga minyak dunia, mengurangi beban APBN, subsidi yang tidak tapat sasaran, gagal panen, dan faktor el nino. Pernyataan itu sebagai keputusan yang berulang dari waktu ke waktu, dengan alasan yang linier, datar, namun menciptakan dampak kegaduhan. Selama masa menunggu keputusan tentang kenaikan harga  masyarakat sudah kecapaian mendengar narasi ketidak-pastian dari pernyataan para elit. Bahkan masyarakat menjadi korban prank dari berita bohong yang liar.

Setelah kegaduhan timbul sebelum kenaikan harga, maka akan muncul kegaduhan berantai pasca kenaikan harga. Jadi, kegaduhan demi kegaduhan akan terus menjadi konsumsi masyarakat sampai bentuk kegaduhan politik menjelang dan setelah pencoblosan suara Pemilu 2024. Menurut pandangan Sunstein (2021), kegaduhan (noise) muncul karena sistem gaduh. Kegaduhan sistem merupakan keragaman yang yang tidak diinginkan dalam suatu pertimbangan yang seharusnya identik dalam keadaan ideal. Kegaduhan bisa menciptakan ketidakadilan besar, biaya ekonomi tinggi, dan berbagai jenis kesalahan. Intinya, kegaduhan sistem merupakan masalah serius dan menimbulkan biaya tinggi.

Pemerintahan yang terbentuk hasil Pemilu 2024 adalah pemerintahan dengan struktur Kabinet Kegaduhan. Audit kegaduhan mampu mengungkapkan kegaduhan sistem dengan mengidentifikasi pola keputusan yang dibuat pemerintah, apakah bersifat tunggal atau berulang. Keputusan tunggal adalah keputusan berulang yang terjadi hanya satu kali. Keputusan dengan risiko besar ini merupakan bagian dari perilaku pakar manajemen yang mencoba menyelesaikan kasus secara mandiri meskipun tidak bebas dari berbagai faktor yang menciptakan kegaduhan di keputusan berulang. Keputusan menaikan harga pangan dan BBM yang diumumkan pemerintah  oleh Presiden Joko Widodo merupakan keputusan berulang yang “nada” nya sama dengan pemerintahan sebelumnya. Tidak ditemukan adanya makna penting bagi rakyat dari keputusan dengan alasan dan narasi yang cerdas. Oleh sebab itu pakar ekonomi Faisal Basri menyatakan bahwa pemerintah lagi-lagi salah. Argumentasi kebijakan menaikan harga BBM selalu bergeser dari harga minyak dunia, mengurangi subsidi yang tidak tepat sasaran, dan mengurangi beban APBN. Apakah teori ekonomi hanya menggunakan paradigma-paradigma itu dalam menyelesaikan masalah ekonomi negara, khususnya yang terkait dengan harga energi. Apakah karena terbatas pasokan gagal panen berakibat ke kenaikan harga beras. Mengapa solusi masalahnya selalu di hilir bukan di hulu. Mengapa proyek “food estate” bisa gagal untuk menangani stabilitas.

Keputusan menaikan harga komoditas utama masyarakat, baik bersifat tunggal atau berulang, mestinya bisa mereduksi kegaduhan yang timbul. Tapi, lagi-lagi pemerintah sebagai tim eksekutif yang mestinya mampu mangani secara sistemis, hanya bergerak secara sporadis. Presiden sebagai pimpinan tertinggi belum mampu menjadi penggerak pasar. Hanya sebatas menjelaskan apa yang terjadi.

Bagikan :

Leave a Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *