Miris, Jabar Peringkat Ke-2 Kasus Sifilis Terbanyak di Indonesia 

Oleh:
Lilis Suryani
(Guru dan Pegiat Literasi)

Terasjabar.co – Betapa memprihatinkannya kondisi masyarakat Jabar, sudahlah dinobatkan sebagai warga yang paling tidak bahagia ke 5 di tanah air, terkuak juga kasus sifilis di Jawa Barat (Jabar) ternyata terbesar kedua di Indonesia. Hal ini dilihat dari data kumulatif kementerian kesehatan (Kemenkes) tahun 2018 hingga 2022, ada 3.186 kasus sifilis di Jabar.

Bahkan diduga kuat kasus sifilis yang terungkap seperti fenomena gunung es, artinya yang tidak terdeteksi jumlahnya jauh lebih besar lagi.

Meski sejumlah upaya dilakukan oleh pemerintah untuk menekan jumlah warga yang terjangkiti penyakit Sifilis ini, namun rupanya belum mencapai hasil yang memuaskan.
Terkait penyakit Sifilis sendiri, seperti diketahui bersama merupakan salah satu penyakit menular seksual atau IMS yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Adapun umumnya, penyebab dari terjangkitnya seseorang dengan penyakit ini adalah karena hubungan seksual.

Maka, tidak mengherankan jika stigma negatif melekat erat kepada orang-orang yang terjangkiti penyakit Sifilis ini, karena diduga kuat mereka adalah orang-orang yang sering berganti-ganti pasangan, ataupun yang memiliki penyimpangan seksual,  meskipun memang tidak semuanya demikian.

Sudah jadi rahasia umum, bahwa kondisi sosial masyarakat saat ini tidak sedang baik-baik saja. Maraknya kasus perselingkuhan, antrean gugat cerai di sejumlah pengadilan Agama, serta kasus KDRT yang semakin meningkat adalah bukti dari rusaknya tatanan sosial di masyarakat, terlebih lagi di ranah keluarga. Padahal keluarga adalah benteng terakhir seseorang untuk mendapatkan perlindungan.

Di duga kuat bahwa gaya hidup sekuler-liberal yang saat ini menjadi cara pandang mayoritas masyarakat adalah akar dari permasalahan ini. Karena sesungguhnya kasus sifilis hanyalah cabang dari sumber permasalahan.  Maka selama mencoba menyelesaikan masalah cabang sedangkan akar masalah yang menjadi inti dari persoalannya tidak tersentuh, masalah tersebut akan tetap tak terselesaikan.

Sehingga untuk dapat menyelamatkan kasus Sifilis, akar masalahnya yaitu penerapan paham sekelur-liberal harus disingkirkan terlebih dahulu. Paham yang berasal dari bangsa Barat ini menjadikan kenikmatan duniawi menjadi tujuan utama manusia, sehingga kebebasan berperilaku dijungjung tinggi. Walhasil manusia bebas menentukan sendiri apa yang hendak atau tidak mereka lakukan.selama tidak mengganggu orang lain. Begitupun terkait dengan hubungan seksual.

Betapa kemaksiatan dipertontonkan secara fulgar di tengah-tengah kita. Dengan mengatasnamakan kebebasan, sejumlah pihak dengan bebasnya mendirikan lokalisasi prostitusi, para pekerjaannya pun seolah tak pernah sepi pelanggan. Buktinya, beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan dengan berita meninggalnya seorang kakek di pangkuan wanita penghibur di sebuah lokalisasi, menyedihkan bukan?

Maka wajarlah jika berbagai penyakit seksual yang mematikan seperti Sifilis dan HIV/AIDS terus mengalami peningkatan. Maka diperlukan upaya sistematis untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah seperti benang kasut ini.

Karena itu, menurut Prof. Dr. Suteki, S.H, M.Hum didalam salah satu tulisannya, menyebutkan penting untuk menggagas strategi sinergis yang mampu menyelesaikan kasus penularan IMS secara tuntas demi mewujudkan masyarakat bersih dan mulia. Mengingat  maraknya seks bebas termasuk LGBT memicu melejitnya kasus Sifilis, maka strateginya adalah:

Pertama, individu. Individu-individu beriman dan bertakwa merupakan salah satu elemen pembentuk masyarakat mulia. Karakter inilah penjaga utama seseorang jauh dari bertindak maksiat. Ia tak lagi berhitung apakah  perbuatannya akan dilihat manusia atau tidak, tapi ia meyakini Allah SWT Maha Mengetahui, akan menghisab sekecil apa pun tindakannya, serta memberikan azab bila melanggar larangannya. Maka ia takut bergaul bebas dengan lawan jenis atau melakukan penyimpangan seksual sejenis karena Allah SWT melaknatnya.

Secara fakta, tindakan efektif terhindar dari sifilis adalah bagi yang sudah menikah untuk setia dengan pasangan halalnya, yang belum menikah tidak melakukan zina (hubungan seksual di luar nikah).

Kedua, keluarga. Sebagai institusi terkecil di masyarakat, keluarga berperan penting dalam mendidik anggotanya terhindar dari perilaku maksiat termasuk seks bebas dan penyimpangan seksual. Dalam hal ini orang tua bertugas meletakkan iman sebagai pondasi, memahamkan tentang hukum Islam termasuk tata cara pergaulan dengan lawan jenis maupun sejenis, mengarahkan dan mengontrol (teman) bergaul ananda dan aktivitasnya baik di dunia nyata maupun maya, menguatkan bonding, serta sering berdialog dengan anak.

Ketiga, masyarakat. Anggota masyarakat berperan sebagai pengontrol satu sama lain. Mereka bertugas amar makruf nahi mungkar. Rasulullah SAW menganalogikan, ibarat masyarakat itu penumpang kapal, bila ada seorang penumpang hendak mengambil air dengan cara melubangi bagian kapal, maka lainnya harus mencegah. Bila tidak, air masuk kapal hingga karam dan semua penumpang tenggelam.

Terhadap pelaku LSL (LGBT), bentuk kepedulian terbaik  adalah menyadarkan bahwa perilakunya menyimpang dan mendukung mereka untuk bisa sembuh dan kembali pada kodratnya. Bukan  memotivasi untuk tetap mengidap perilaku menyimpang dan membenarkan atas nama HAM. Lalu jika menemukan ada pelaku LGBT atau seks bebas di sekitar tempat tinggal, segera lapor penguasa setempat/digerebek bareng warga. Meski saat ini belum tersedia pasal hukum untuk menjerat, minimal pelaku tahu bahwa perilakunya ditolak masyarakat.

Keempat, negara. Sesuai amanat UUD 1945, tujuan negara Indonesia adalah melindungi seluruh rakyat Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Sebagaimana fungsi negara dalam pandangan Islam yakni sebagai ra’in (pengatur urusan umat) dan junnah (pelindung rakyat dari musuh dan segala bentuk keburukan). Memiliki legalitas mengatur dan menghukum, maka negaralah elemen terpenting dalam mewujudkan masyarakat bersih dan mulia.

Perlu diingat bahwa merebaknya seks bebas dan penyimpangan seksual bukan lagi kasuistik tapi perkara sistemis. Apalagi LSL (LGBT) tak lagi sekadar masalah individual sosial, melainkan bernuansa politis yang kian eksis karena dukungan negara-negara Barat termasuk lembaga internasional selevel PBB.

Jika menghendaki penyelesaian sifilis secara tuntas, maka cabut juga sistem hidup yang memfasilitasi tumbuh dan berkembang biaknya pemicu sifilis. Menjadi keniscayaan terjadinya pergantian sistem kehidupan dari sekularisme liberal menuju tatanan Islam yang menerapkan aturan Allah Swt dan Rasul-Nya. Hanya dalam sistem Islam dengan keunggulan aturan hidupnya, yang bisa mewujudkan masyarakat bersih dan mulia tanpa penyakit IMS dan segala jenis keburukan lainnya.

Bagikan :

Leave a Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *