Kewirausahaan Tanpa Riba

Oleh
Sadikun Citra Rusmana
(Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pasundan)

Terasjabar.co – Pendidikan kewirausahaan selalu menjadi isu penting agenda politik semua pemerintahan di dunia. Pada berbagai pertemuan para pemimpin dunia, terutama  di sesi World Economic Forum (WEF), isu ini selalu mencuat. Kecenderungan tersebut akan terus berlanjut sampai ke masa depan terkait dengan upaya pencapaian kesejahteraan  sosial dan mencari solusi terhadap ancaman pengangguran generasi muda. Selain aspek ekonomi, pengembangan kewirausahaan juga sebagai upaya mencapai kemakmuran personal dan kohesi sosial.

Indonesia yang menjadi salah satu penggagas pentingnya pendidikan kewirausahaan sejak usia dini telah menyusun rencana undang-undang kewirausahaan nasional (RUU Kewirausahaan Nasional). Tujuan RUUKN ini adalah untuk menumbuhkan dan mengembangkan semangat kewirausahaan yang inovatif dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan.

Draf RUU Kewirausahaan Nasional ini mengatur kurikulum pendidikan kewirausahaan yang akan masuk ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Bagi wirausaha pemula (star-up), RUU Kewirausahaan mengatur tata cara perizinan bagi wirausaha pemula. Perizinan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, dan sarana pemberdayaan bagi pelaku usaha mikro dan kecil dalam mengembangkan dan melindungi usahanya.

Program nasional (pronas) ini telah direspon baik oleh pemerintah daerah dan masyarakat nasional, khususnya para pelaku bisnis. Pemerintah DKI mencanangkan program Oke-Oce yang berubah menjadi Jakpreneur.  Pemerintah Jawa Barat mencanangkan Satu Desa Satu Wirausaha. Demikian juga pelaku bisnis merespon dengan membentuk berbagai gugus aksi kewirausahaan baik secara mandiri maupun kolaborasi.

Sensus Ekonomi 2016 mencatat adanya usaha mikro kecil dan menengah besar (UMKMB) di Indonesia sebanyak 26.422.256 usaha. Usaha mikro kecil (UMK) sebanyak 26.073.689 usaha, usaha menengah besar (UMB sebanyak 348.567 usaha. Tiga provinsi besar yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jaw Timur mendominasi 50% populasi UMKMB.

Apakah semua UMKMB itu berhasil dalam usaha ekonominya? Berdasarkan catatan Forbes.com, sebanyak 8 dari 10 usaha mikro start-up mengalami kegagalan bisnis pasca Copid-19. Menurut Kementerian Keuangan Indonesia, usaha mikro kecil mengalami kegagalan bisnis karena kesulitan keuangan (financial distress) berupa gangguan arus kas dan penurunan penjualan. Kedua penyebab tersebut membuat usaha mikro kesulitan memenuhi kewajiban pembayaran pinjaman kepada kreditur. Usaha mikro sulit berkembang karena ternyata penyediaan modalnya kebanyakan dari sumber kredit yang berbeban riba.

Jebakan Riba

Keputusan memodali usaha dari sumber pinjaman merupakan langkah yang banyak dilakukan UMKM. Namun langkah itu berbuntut jebakan beban riba. Sesungguhnya, pinjaman merupakan suatu kepastian yang harus dibayar sedangkan penghasilan merupakan suatu ketidakpastian dari mana sumbernya. Jadi para pengusaha membayar suatu kepastian dengan suatu ketidakpastian.

Ketika pengusaha menerima pinjaman, maka seketika itu juga uang dibelanjakan untuk investasi dan perluasan bisnis, tapi kecepatan pembelanjaan tidak secara cepat diikuti dengan perolehan. Terjadilah ketidakseimbangan arus kas yang menimbulkan kegagalan bayar. Bahkan perusahaan bisa bangkrut. Setelah hal itu terjadi, proses pemulihan usaha akan menjadi berat dan kemungkinan tidak bisa beroperasi lagi.

Morgan Housel, dalam bukunya Psychology of Money (2023) menyatakan sebuah premis bahwa “…mengelola uang dengan baik tidak ada hubungannya dengan kecerdasan tapi lebih banyak berhubungan dengan perilaku seseorang…”. Para pengusaha mikro menengah banyak diajari tentang pengelolaan uang oleh kaum terpelajar, bagaimana menatabukukan, bagaimana mencatat penerimaan dan pengeluaran uang.

Faktanya, para pengusaha tetap selalu merasa kekurangan uang dan selalu membutuhkan modal. Mereka kurang belajar tentang entrepreneurial finance. Mengelola uang bukan sekedar catat mencatat, tapi lebih pada mind set dan skill set. Keahlian keuangan bukan hard skill tapi soft skill. Perilaku lebih penting daripada pengetahuan dalam menggunakan uang. Para pengusaha mikro sangat membutuhkannya untuk memperkuat usahanya, dan terlepas dari beban pinjaman riba.

Bagikan :

Leave a Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *